Sabtu, 25 April 2015

makalah nasikh mansukh



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Fenomena Naskh yang keberadaannya diakui oleh mayoritas ulama,merupakan bukti terbesar, bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Sebab naskh adalah pembatalan atau penggantian hukum, baik dengan penghampusan, dan menghilangkan teks yang menunjuk hukum dari bacaan ( dengan tidak dimasukkan dalam kondifikasi al-qur’an ), atau membiarkan teks tersebut tetap sebagai petunjuk adanya ‘hukum’ yang dimansukh.
Namun fenomina naskh dalam pemikiran agama yang hegemoni dan dominan melahirkan dua problem yang dihindari untuk didiskusikan. Pertama; problem bagaimana mengompromikan antara fenomina ini, dengan konsekwensi yang ditimbulkannya, bahwa teks mengalami perubahan melalui naskh, dengan keyakinan umum, bahwa teks sudah ada sejak zaman azali di lauwh makhfudz? Kedua; ‘pengumpulan al-qur’an’ pada masa khalifah abu bakar. Antara naskh dengan problem pengumpulan menjadi terkait dengan contoh-contoh yang diketengahkan oleh ulama dapat menimbulakan kesan, bahwa sebagian dari bagian-bagian teks telah terlupakan dari ingatan manusia.
2.      Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian nasikh mansukh?
2)      Bagaimana latar belakang teori nasikh mansukh?
3.      Tujuan
Mengetahui pengertian Naskh Mansukh, dan latar belakang teori Naskh Masnsukh.








BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi Nasikh mempunyai beberapa arti antara lain;
1.      Al-Izalah wa Al-i’dam ( menghapus / menghilangkan ) seperti dalam Q.S al-hajj; 52;
.....فينسخ ا لله ما يلقي ا لشيطان ...
(Dan allah menghilangkan apa yang di masukkan oleh syaithan itu.)
2.     At-taghyir wa al-ibtal wa iqamah as-shai’ maqamahu  ( mengganti / menukar ), sebagaimana Q.S al-baqarah; 106 )
...ما ننسخ من اية أوننسها نأت بخير منها أو مثلها....
(Ayat mana saja  yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya).
3.     An-naql min kitab ila kitab( menyalin /mengutip ) sebagaimana dalam Q.S al-jasiyah;29;
إنّا كنّا نستنسخ ما كنتم تعلمون.........
(Allah berfirman ); inilah kitab ( catatan ) kami dalam menuturkan terhadapmu dengan benar sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan ”.
Makna yang paling relevan menurut  menurut pandangan para pendukung adanya teori dan konsep nasikh mansukh adalah dalam arti poin 2) at-taghyir wa al ibtal wa iqamah ash-sha’i maqamahu ( mengganti / menukar ). Secara termonilogi nasikh adalah;
النسخ رفع الحكم الشرعي مع التراخي علي وجه لولآه لكان الحكم الاول ثابتا
(mengganti hukum syara’ dengan memakai dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu,dengan catatan kalau sekiranya tidak adanya nasikh itu tentulah hukum hukum yang pertama tetap berlaku).
Contoh kewajiban hukum yang tertuang dalam Q.S al mujadalah 12
ياايهاالذين امنوا إذا نجيتموالرسول فقدّموا بين يدي نجويكم صدقة,ذالك خيرلكم واطهر,فإن لم تجدوا فإن الله غفوررحيم.
)hai  orang-orang yang beriman apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah  (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan)  maka sesungguhnya allah maha pengampun lahi maha penyayang ).
Dengan adanya kebebasan yangdi tawarkan dalam Q.S al-mujadalah 13;
ءأشفقتم أن تقدّموابين يدي نجويكم صدقت، فإن لم تفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصّلاوَة واتواالزكاة واطيعواالله ورسولوه،والله خبيربما تعملون.
(apakah kamu takut akan menjadi (miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan allah telah memberi taubat kepadamu  maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada allah dan rasulnya,dan allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan).
Maka tidak lagi wajib hukum yang tertuang dalam ayat sebelumnya. Nasikh secara terminologi tersebut diatas memiliki dua konotasi yaitu 1. Hukumsyara’ atau dalil syara’ yang mengganti dalil syara’ yang mendahuluinya. Seperti contoh di atas. 2. Hanya Allah yang berhak mengganti, sebagaimna firman Allah dalam Q.S al-An’am;57.
إن الحكم إلا لِلّه،يقصّ الحق،وهو خيرالفصلين
(Menetapkan hukum itu hanya hak Allah dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik.)
Sedangkan Mansukh, secara etimologi berarti suatu yang diganti. Secara terminologi berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal,yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Arti Nasikh Mansukh Dalam  Istilah Fuqaha’ yaitu;[1]
1.   Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang terdahulu dengan suatu nas yang baru datang seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi memperbolehkannya.
2.    Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas, seperti
-Q.S.al-Baqarah;228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ.......
 (dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah (menunggu) tiga kali quru’)....
-Q.S.al-Ahzab;49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
(Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas meeka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya).
3.    Contoh mengangkat/menghilangkan yang umum, seperti
-Q.S.al-Maidah;3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
(Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah).
-Q.S.al-An’am:145;
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(Katakanlah: “Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”).
Nas yang pertama mengenai segala jenis darah (mutlaq). Nas yang kedua membatasinya yaitu darah mengalir. Syarat-syarat Nasikh:
a)        Hukum yang di mansukh harus berupa hukum syara’ (bukan hukum akal dan juga bukan hukum produk manusia) yakni perintah allah dan rasulnya yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,baik wajib,haram,makruh atau mubah, dan dalil yang mengganti (nasikh) juga harus berupa dallil  syara’.
b)        Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
c)        Antara dua dalil nasukh dan mansukh atau antara dalil 1 dan dalil 2 tersebut harus ada pertentangan yang nyata (kontradiktif).
d)       Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir. Karena dalil dan ketetapan hukumnya telah terbukti secara pasti, maka tidak di nasikh kecuali oleh hukum yang terbukti secara pasti pula[2].

B.       Kontrofeversi tentang adanya Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
Latar belakang timbulnya naskh mansukh dalam Islam antara lain:
1)   Timbulnya isu nasikh mansukh dalam as-sunnah.
2)   Para sahabat menggunakan istilah nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Dan yang dikehendaki adalah pentakhsisan dari yang ‘am, pentaqyidan dari yang mutlaq, dan pentafsilan dari yang mujmal.
3)   Adanya ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan gejala kontradiksi.
Tanggapan atas teori Nasikh Mansukh tersebut, maka dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, atas dasar penggunaan makna etimologi maupun terminologi.
1.Menggunakan makna رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي(menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’).
2.   Menggunakan makna at-Tabdil (pergantian/penukaran/pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain). Dalam arti bahwa semua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanya penggantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang bebeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku baginya/mereka, tetap berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula[3].
3.  Bermakna penagguhan hukum, sebagaimana pendapat az-Zarkasyi yang menyatakan bahwa setiap perintah yang datang wajib kita ikuti, disaat kita memperoleh illat, dan bila illatnya hilang
( الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما)
maka kita boleh berpindah pada hukum yang lain[4]. Pendapat ini diikuti oleh Quraisy Shihab[5].
4.  Menggunakan / mengidentikkan dengan Takhsis.

C.     Problematika Naskh Mansukh
Persamaan dan Perbedaan Nasikh dengan Takhsis:
Persamaanya:
1)      Sama-sama memberi batasan suatu ketentuan hukum. Naskh memberi batasan waktu, sedangkan Takhsis memberi batasan materi.
2)      Sama-sama memberi batasan berlakunya suatu ketentuan hukum syara’.
3)      Sama-sama berupa dalil syara’.
Perbedaanya:
1)      Lafal ‘am setelah ditakhsis menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum. Sedangkan lafal dalil yang dimansukh sudah tidak berlaku lagi, sehingga sudah jelas jangkauannya telah terhenti. Contoh; ketentuan Q.S.al-Mujadalah: 12 tidak berlaku lagi karena telah ada ketentuan baru dalam Q.S.al-Mujadalah: 13.
2)      Ketentuan hukumnya sejak semula sudah dikecualikan dengan takhsis, sedang hukum yang dimansukh pada mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat. Tetapai setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukumnya dimansukh. Contoh (takhsis); Q.S.al-’Asr:,
لاَ يَحِلُّ لَكَ النِّسَآءُ مِن بَعدُ وَلآ أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِن أَزوَجٍ ولو أعجبك حسنهنّ إلاّ ما ملكت يمينك. وكا ن الله على كلِّ شيءٍ رَّقيباً .
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-erempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.
Larangan kawin bagi Nabi Muhammad SAW telah dilarang, dan telah berlaku beberapa waktu lamanya, tetapi karena sering terjadi peperangan yang menyababkan banyaknya sahabat yang gugur, sehingga banyak janda yang terlantar, maka turunlah ayat yang menasikhnya, yaitu (mansukh) Q.S.al-Ahzab:50;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالاتِكَ اللاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibka kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3)      Nasikh membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh, sedangkan takhsis tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja, sedang ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan.
4)      Nasikh tidak dapat terjadi kecuali dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang takhsis bisa saja terjadi dalam dalam Al-Qu’an, As-Sunnah, ataupun hukum lain di luar keduanya.
5)      Naskh itu dalil nasikhnya harus datang kemudian setelah ketentuan dari dalil yang pertama itu berlaku terlebih dahulu, lalu dihapuskan. Sedang dalam takhsis, dalil yang men-takhsis (mukhassis­)nya boleh datang bersamaan dengan dalil yang di-takhsis­.
Cara Mengetahui Adanya Nasikh dan Mansukh
Syarat yang harus dilakukan ketika menentukan terjadinya nasikh dan mansukh yaitu:
1.      Bila ada dua ayat hukum yang nampak saling kontradiksi dan tidak dapat dikompromikan.
2.      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga ayat yang terlebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan ayat yang turun kemudian sebagai nasikh.
Ada tiga cara untuk mengetahui untuk mengetahui ketentuan dalil yang terdahulu turun dan yang turun kemudian. Yaitu:
a)      Dalam salah satu dalil, nasnya harus ada yang menentukan turunnya lebih belakangan dari dalil yang lain. Contoh dalam Q.S.al-Anfal:66;
آلئن خفّف اللهُ عنكم وعلم أنّ فيكم ضعفًا . فاإن يكن مّنكم مّائة صابرةٌ يغلبوا ماْئتينِ . وإن يكن مّنكم ألفٌ يغلبوا ألفين بإذن الله . والله مع الصّبرين .
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat menglahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Dari ayat ini diperoleh indikasi dari kata آلئن خفّف اللهُ عنكمbahwa ayat tersebut datang sesudah Q.S.al-Anfal:65;
يَآء يُّها النّبيّ حرض الموء منين على القتالى . إن يكن مّنكم عشرون صَبرون يغلبوا مِا ئتين . وإن يكن مّنكم مّا ئةٌ يّغلبوا ألفًا مّن اللذين كفروا بأنّهم قومٌ لاّ يفقهون .
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
b)      Harus ada kesepakatan (konsensus) ijma’ para imam dalam suatu masa yang menetapkan bahwa salah satu dari dua dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
c)      Harus ada riwayat sahih dari salah satu seorang sahabat menentukan mana yang datang terlebih dahulu dari kedua dalil nas yang saling bertentangan tadi.

D.     Macam dan Hikmah Nasikh Mansukh
Macam Naskh, Naskh memiliki tiga pola, antara lain:
1.      Ayat yang teksnya dinaskh, namun hukumnya tetap berlaku. Seperti hukum rajam dari riwyat Umar bin khattab dan Ubai bin Ka’ab:
كان فيمآ أنزل من القرآن الشيخ و الشيخة إذا زنيا فار جموهما البتة نكا لا من الله.
Termasuk bagian hukum yang pernah tertuang dalam Al-Qur’an adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah sama-sama punya istri dan suami melakukan perzinaan, maka hukumlah mereka sebagai hukuman dari Allah swt.
Hikmah dari pola ini adalah untuk menguji sejauh mana kualitas ketaatan umat islam dalam kepasrahannya mengabdikan diri kepada hukum Allah berdasarkan dugaan tanpa menunggu dalil qat’i, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s ketika menerima perintah menyembelih melalui mimpi, padahal mimpi merupakan sarana pewahyuan yang paling rendah.
Kelemahan pola ini:
a)      Hukum syara’ akan (berkemungkinan) berubah menjadi misteri-misteri yang hanya diketahui oleh kalangan tertentu.
b)      Bagaimana mungkin bisa terjadi naskh tanpa ada nasikh (pengganti) (Q.S.al-Baqarah:106).
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
2.      Ayat yang hukumnya dinaskh namun teksnya masih tetap. Inilah satu-satunya pola yang disepakati. Dasar pertimbangan naskh adalah kronologi turunnya, bukan urutan pembacaanya. Contoh Q.S.al-Baqarah: 240 (mansukh);
والّذين يتوفّون منكم ويذرون أزوجًا وصيّةً لاِّءزوجهم متعًا إلىَ الحولِ غير إخراجٍ . فإن خرجن فلا جُناحَ عليكم فى أنفسهنّ من معروفٍ . واللهُ عزيزٌ حكيم .
Dan orang-orang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Yang menaskh adalah Q.S.al-Baqarah:234;
والّذين يتوفّون منكم ويذرون أزوجًا يتربّصن بأنفسهنّ أربعة أشهرٍ وعشرًا . فإذا بلغن أجلهنّ فلا جناح عليكم فيما فعلن فى أنفسهنّ بالمعرؤف . والله بما تعملون خبير.
Orang-orang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Hikmah dibalik pola ini bukan hanya mengingatkan nikmat dan menghapuskan kesulitan, tetapi juga sebagai penangguhan hukum karena faktor-faktor yang mengharuskannya tidak ada.
3.      Ayat yang teks dan hukumnya sekaligus dinaskh
Dalil yang menunjukkan terjadinya pola ini adalah hadist sama’i yang bersumber dari Aisyah H.R. Muslim;
كان فيمآ أنزل عشرر ضا عا ت معلومات يحرمن, بخمس معلومات فتوفى فتوفى رسول الله صلى الله عليه وسلم وهن مما يقرأ من القرآن .
Pernah diturunkan ayat tentang hukum 10 kali susuan yang ditentukan, maka ia menyebabkan menjadi muhrim, lalu ia diganti hukumnya dengan 5 kali susuan yang ditentukan, lalu Rasulullah saw wafat. Hukum tersebut pernah menjadi bagian dari yang terbaca dalam Al-Qur’an.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa riwayat tersebut termasuk ahad.
Hikmah Naskh Mansukh
1)      Bagi yang memberikan makna penangguhan, fungsi naskh adalah penahapan dalam tasyri’ dan pemberian kemudahan/keringanan/kemudahan.
2)      Bagi pendukung konsep nasikh mansukh
a). Hikmah nasikh secara umum
1.      Untuk menunjukkan bahwa syari’at islam adalah syari’at yang paling sempurna.
2.      Selalu menjaga kemaslahatan umat manusia.dan hal ini akan berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila suatu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka suatu tindakan bijaksana apabila ia dinasikh (diganti) dengan hukum yang sesuai dengan waktu dan tempat, sehingga ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
3.      Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan dan mengaktualkan.
4.      Untuk menguji kualitas keimanan umat manusia.
5.      Untuk menambah kebaikan bagi umat manusia yang mau mengamalkannya dalam segala kondisinya.
6.      Untuk memberi despensasi dan keringanan bagi umat manusia.

b). Hikmah nasikh tanpa pengganti
Seperti pola naskh dalam Q.S.al-Mujadalah:12 (mansukh)
Oleh Q.S.al-Mujadalah:13 (nasikh). Hikmahnya antara lain untuk menjaga kemaslahatan umat manusia.
c). Hikmah naskh dengan pengganti yang seimbang. Seperti menasikh ketentuan menghadap kiblat ke Baitul Maqdis di Palestina dalam Q.S.al-Baqarah:144;
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
sungguh Kami sering melihat mukamu menegadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhanny; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

d). Hikmah naskh dengan pengganti yang lebih berat. Seperti Q.S.an-Nisa’:15 (hanya memberi hukuman kurungan);
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.

Yang dimansukh dengan Q.S.an-Nur:2;

Perempuan yang berzina dan laki-laki yamg berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.

e)-Hikmah naskh dengan pengganti yang lebih ringan. Seperti menaskh Q.S.al-Anfal:65, yang menentukan rasio tentara islam dengan tentara musuh dengan 1:10, diganti dengan Q.S.al-Anfal: 66, yang mengubah rasio itu hanya tinggal 1:2 saja.

Hikmahnya antara lain untuk memberi dispensasi kepada umat manusia agar mereka merasakan kemurahan Allah.




[1]M. Khudari, Tarikh at-tasyri’ dan usul fiqih
[2]Ash-syatibi,al muwafaqat fi usul al fiqhi ( bairut; dar al-ma’ari 1975 ) III; 105
[3]Sayyid Rayid Rida, Tafsir Al Manar (Mesir: Dar Al-Manar, 1367 H) I:237.
[4]Az-Zarkashy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, II:42.
[5]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.I (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), I: 277