Kamis, 28 Mei 2015

oposisi mahasisiwa



Oposisi Mahasisiwa dalam Kemandulan
Mahasiswa menjadi agen perubahan (agent of change) disetiap rentan waktu kekuasaan. Kasus mundurnya Soeharto tanggal 21 mei 1998 dari jabatan presiden yang sudah dipeganggnya selama 32 tahun menjadi sebuah contoh yang sangat menarik bagi kita sebenarnya, bagaimana peran mahasiswa itu mampu menjadi sebuah oposisi yang sangat absolut sekaligus riil dan tanpa sebuah kontrol secara efektif. Jika kekuatan yang dimiliki mahasiswa sebagai sebuah oposisi sudah mandul, tentu kehidupan demokrasi ini sudah tidak baik. Sebab harapan terbesar masyarakat adalah mahasisiwa. mungkin di era Soeharto Indonesia masih belum mengenal oposisi karena jika kita menoleh pada sejarah pada saat itu tidak ada partai menang-kalah. Ini sebuah usaha yang sangat menggelitik bagi mahasisiwa sebagai pusat propaganda atau counter propaganda agar mahasiswa tetap kritis menyikapi perubahan.
Sehubungan dengan hal di atas, layak kiranya sebagai mahasisiwa jika menformat dirinya sebagai oposisi. Karena dalam sejarah di atas lengsernya soeharto tidak mungkin terjadi dan tidak akan pernah terwujud, jika tidak ada keinginan mahasisiwa untuk menggugatnya. Namun jika kita menoleh pada era sekarang, gembar-gembor terulangnya aksi 1998 di era Jokowi ini sudah menjadi issu yang kita nantikan, apakah issu tersebut menjadi terealisasi secara nyata atau tidak. Namun fakta tentang aksi mahasisiwa di 20 Mei kemaren, nampaknya menjadi sejarah kemandulan mahasiswa sebagai oposisi. Mengapa tidak? Sebab dalam sebuah kabar berita online, aksi 20 Mei di Jakarta hanya di ikuti oleh 20 aktivis mahasisiwa yang melakukan demontrasi. Sunngguh hal yang sangat jauh berbeda pada era Soeharto. Mungkin era Jokowi ini masih dianggap lebih baik dan masih dalam kontroling media. Lalu bagaimana jika media sekarang berada di genggaman sang birokrasi? hal ini menjadi bahan intropeksi bagi mahasiswa.
Mereingkarnasikan Semangat Oposisi Mahasiswa
            Mengapa harus mahasiswa? Dalam bukunya Nuruddin menuliskan paling tidak ada beberapa alasan. Pertama posisi mahasiswa relatif lebih kecil dalam hal kepentingan politik (interes politik). Dalam sejarah telah terbukti, bahwa mahasisiwa hanya bertindak sebagai kekuatan moral (moral of force) dalam menyikapi kondisi sosial politik dan lepas dari kepentingan politik tertentu. Jika sudah begitu mahasisiwa memang harus terlepas dari kepentingan-kepentingan pihak tertentu, dan tindakan atau aksi-aksi mahasisiwa memang harus murni untuk kepentingan rakyat Indonesia khusunya. Maka jika saja peran mahasisiwa yang semacam ini, sudah tidak lagi menjadi bagian dari fungsi mahasisiwa era sekarang, ini menjadi sejarah kemandulan fungsionalis mahasisiwa sebagai moral of force.
 Kedua mahasisiwa mampu memainkan peran sebagai kelompok pemberi tekanan atau (pressure group). Dalam posisi ini seharusnya mahasisiwa mampu dan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng. Oleh karena itu, sifat kritis mahasiswa akan selalu ada dan mampu terwujud jika dalam setiap individu mahasisiwa terdapat semangat oposisi. Mengapa demikian? sebab buat apa mahasiswa bersikap oposisi secara formal jika tingkah lakunya arogan atau bersikap layaknya mau menang sendiri dan hanya merongrong. Seharusnya semangat oposisi mahasisiwa ini dibarengi dengan pemikiran yang lebih jernih dengan tetap berpegang teguh pada amar ma’ruf nahi munkar? Dan usaha untuk mewujudkan semangat oposisi ini menjadi wajib sebagai sebuah manivestasi dari tanggung jawab mahasisiwa kepada masyarakat sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi.
Di balik tanggung jawab yang besar, mahasiswa juga harus sadar bahwa dirinya berada dalam taraf  yang labil dan cenderung berpandangan sempit, sehingga mahasisiwa rentan ditunggangi oleh pihak lain. oleh karena itu kelemahan semacam ini harus disadari betul oleh mahasisiwa sebagai agent of control, agar nantinya segala tindakan yang dilakukan oleh mahasisiwa dapat terarah sebagaimana mestinya.

Sabtu, 09 Mei 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin. Namun seiring berkembangnya teknologi semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai agamistik islamiyah, Etika dan moral umat islam saat ini lebih banyak bersifat keduniawian sehinggaan mereka cenderung jauh dari Allah SWT. Etika mereka menjadi rusak. Ibadah mereka menjadi hancur, bahkan agama hanya sebagai pelengkap identitas mereka. Hubungan antar sesama manusia sudah carut-marut tidak lagi ada kesopanan, bahkan yang menonjol adalah sebuah kedzaliman.
Berangkat dari situlah kita sebagai umat islam yang tau betul bahwa islam sangat menganjurkan kita untuk memerangi hal tersebut, yang sering kita kenal dengan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” yang mana kedua hal tersebut merupakan pondasi dasar dari pada pondasi-pondasi akhlaq yang mulia. Kewajiban menegakkan kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar lagi bagi siapa saja yang mampu serta mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Namun permasalahannya adalah umat islam pada masa sekarang sudah tidak lagi memperhatikan kedua hal tersebut. Nah maka dari itu kami menulis makalah ini untuk mengingatkan dan memberi wawasan tentang kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk menegakkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” pada masa sekarang ini.  
B.     Rumusan Masalah
Sejauh mana kewajiban seorang muslim dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar?
C.    Tujuan
Agar dapat mengetahui sejauh mana kewajiban kita sebagai umat muslim dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar serta mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Syekh Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Samarqandi mengartikan Ma’ruf dengan apa yang sesuai dengan al-Qur’an dan akal. Amar Yang berarti perintah yaitu lawan dari nahi yang berati larangan. Ma’ruf adalah lawan dari munkar (sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal). Secara bahasa, ma’ruf adalah berasal dari kata ‘arafa (عرف) yang berarti mengetahui, mengenal. Maka ma’ruf adalah sesuatu yang dikenal, dimengerti, dipahami, diterima, dan pantas. Sebaliknya munkar adalah sesuatu yang dibenci, ditolak dan tidak pantas[1]. dengan demikian ma’ruf dan munkar lebih mengarah pada tradisi masyarakat. Dalam Qawaidul Fiqhiyah dikenal dengan “al-‘adah muhakkamah” atau tradisi dapat dijadikan hukum.
Maka dalam pengertian di atas apa yang di anggap ma’ruf bagi masyarakat belum tentu ma’ruf bagi masyarakat lainnya. amun meskipun begitu, dalam menilai atau mengukur panilaian utama tradisi adalah syari’ah, maka tradisi tersebut akan menjadi tradisi yang baik “al-‘adah al-shahihah”.
Di dalam makna keseluruhan amar ma’ruf nahi munkar adalah memerintahkan sesuatu yang ma’ruf (sesuatu yang yang baik yang menjadi tradisi pada umumnya dengan mengukurnya dengan syari’ah) dan mencegah yang munkar (sesuatu yang yang dibenci menurut akal atau tradisi pada umumnya yang diukur pula dengan syari’ah).
Pengertian tersebut diatas sesuai dengan pengertian yang berlaku pada umumnya pendapat ulama’ dan umumnya manusia mengartikannya. Namun pengertian diatas juga berlaku pada pengertian secara islamiyah yang diukur dengan ketentuan syar’iyah. Sehingga hal tersebut bukan hanya menjadi bagian dari dakwah islamiyah akan tetapi juga sudah menjadi bagian dari prinsip hidup manusia dalam bermasyarakat dan bersosial antar sesama khusunya untuk mencapai kerukunan dalam hidup beragama.
B.   Perintah Serta Kewajiban Mengakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan) tidak dapat dipisahkan dari nahi munkar (mencegah kemunkaran atau perbuatan terlarang). Dalam al-Qur’an kedua istilah ini sampai-sampai di ulang sebanyak Sembilan kali dalam lima surat yang berbeda, yaitu surat al-A’raf ayat 157, surat Luqman ayat 17, surat Ali-Imran ayat 104, 110, dan 114, surat al-Hajj ayat 41 dan surat Taubah ayat 67, 71, 112[2].
Salah satu Perintah mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat ali-Imran ayat 104 yang berbunyi:
ولتكن منكم أمّة يّدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“dan hendaklah diantara kamu golongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs Ali-imran 104)
Berdasarkan ayat ini jumhur ulma’ sepakat bahwa berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajib. Namun yang menjadi perdebatan hingga sampai saat ini adalah mengenai kewajiban tersebut, yaitu dibebankan kepada siapakah hal tersebut. Apakah dibebankan kepada setiap individu muslim (wajib A’in) ataukah hanya dibebankan hanya kepada sekelompok orang saja dari umat islam secara keseluruhan (fardu kifayah).
Perbedaan mengenai wajibnya berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar tersebut bukanlan tanpa alasan, dalam memahami dalil-dalil Naqly (al-Qur’an dan al-Hadits) ulama’-ulama’ membandingkannya dengan keadaan atau sebuah kenyataan setiap individu muslim yang berbeda antara muslim satu dengan muslim lainnya, baik dalam kondisi lahiriyahnya ataupun kondisi penguasaan keilmuannya khususnya.
Muhammad Abduh cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar tersebut hukumnya wajib/fardhu A’in, hal tersebut didasarkan pada huruf “lam” yang terdapat pada lafadz “waltakum” mengandung makna perintah secara mutlak tanpa syarat. Sedang huruf “mim” yang terdapat pada kalimat “minkum” mengandung makna li-Albayan yang hanya bermakna bersifat penjelasan. Jadi hal tersebut mempunyai makna menurut Muhammad Abduh adalah “dan hendaklah ada (yaitu) kamu sekalian sebagai umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung [3].
Jadi jika didasarkan pada penafsiran atau alasan yang di singgung oleh Muhammad Abduh terhadap ayat diatas mengandung makna bahwa setiap muslim dengan keadaan apapun dan walaupun minimnya ilmu yang dimiliki oleh seorang muslim tersebut wajib (A’in) hukumya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya.
Namun jika kita telisik lebih dalam terhadap pemikiran Muhammad Abduh ini mengandung sebuah pertanyaan besar bagi kita, yaitu ketika seorang muslim diharuskan berdakwah sedang iya dalam keadaan yang minim ilmu apakah tidak ada keraguan bagi kita tentang apa yang iya sampaikan. Mustafa Assiba’i memberikan sifat-sifat pendakwah (penegak amar ma’ruf nahi munkar) salah satunya adalah “penggerak dakwah sebaiknya memiliki kecerdasan dan kepekaan. Orang yang bodoh dan tidak cerdik sangat sulit di jadikan pemimpin dalam bidang pemikiran, perbaikan masyarakat, dan kerohanian. Rasulullah sejak kanak-kanaknya dikenal sebagai anak yang cerdas sehingga membuat orang sayang kepadanya[4].
Namun ada yang berbeda dalam memahami surat Ali Imran tersebut yaitu Al- syaukaniy yang dikutip oleh Syamsuri Siddiq bahwa dakwah islamiyah atau menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardu kifayah dengan alasan bahwa huruf “mim” yang melekat pada lafadz “minkum” bukanlah makna lilbayan melainkan li Al-tab’id  yakni mengandung makna sebagian dari umat islam. Maka jika diartikan adalah “ maka hendaklah ada sebagian diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”
pendapat ini juga nampaknya punya konsekwensi tersendiri tentang pertanggung jawaban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena jika diartikan hanya sebagian saja maka hal yang munkin akan timbul adalah bahwa kita harus menunggu salah seorang mukmin untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Lalu bagaimana jika kita secara langsung melihat seseorang yang melakukan kemungkaran dan apakah kita akan menunuggu seseorang untuk mencegah kemunkaran tersebut. Maka bukan tidak mungkin kemunkaran tersebut akan meraja lela jika tidak segera kita cegah.
Namun demikian pendapat tersebut didukung oleh para mufassirin diantaranya adalah Imam Qurthubi, Imam Suyuthi dan Zamarkhsyariy, namun al-Razi berpendapat lebih moderat dengan mengatakan bahwa huruf “mim” pada kata “minkum” itu li Al-bayan, yakni bersifat penjelasan.
Dengan melihat dua pemahaman dan pendapat tentang ayat 104 surat ali-Imran tersebut nampaknya lebih bisa dipahami sebagai kewjiban yang bersifat “A’in”, hal ini di perkuat dengan firman allah pada surat yang sama pada ayat yang ke 110 yang bebunyi:
كنتم خير امّة أخرجت للنّاس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو أمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk  manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Qs. Ali-Imran 110)”
Ditambah lagi dengan sebuah hadits yang diriwayatkan imam muslim yang berbunyi:
من رأى منكم منكرا فاليغيّره بيده فان لم يستطع فبلسانه فان لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الايمان (ورأه صحيح مسلم)
“barang siapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila  belum bisa, maka cegaklah dengan lisanmu, apabila belum bisa cegahlah dengan hatimu, dan yang demikian adalah pertanda selemah-lemah iman[5]
Hadits diatas menunjukkan bahwa betapa wajib dan pentingnya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga dalam kondisi atau keadaan yang lemah sekalipun kita masih diperintahkan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Maka sebagai jalan penengah Ibnu katsir menafsirkan surah ali-Imran ayat 104 yaitu “yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah, hendaklah ada dikalangan umat satu golongan yang berusaha untuk urusan itu kendati berdakwah adalah kewajiban atas setiap umat dari umat keseluruhan” ibnu katsir juga memberikan pendapatnya terhadap surat ali-Imran ayat ke 110 yaitu “ pendapat yang benar, ayat ini umum mencakup segenap umat (ISLAM) disetiap jaman sesuai dengan kedudukan  dan kondisi mereka masing-masing. Sedang kurun yang terbaik adalah pada masa rasulullah SAW lalu seterusnya dan seterusnya.
Maka komentar ibnu Katsir ini sangat sesuai dan muafaqah dengan hadits yang diatas yang menunjukkan bahwa umat islam wajib A’in didalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan keadaan dirinya.
C.   Alasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Harus Ditegakkan
a)      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan jalan hidup rasul dan pengikutnya
b)      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan karekter orang-orang yang muflihin (beruntung)
c)      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan ciri umat yang terbaik
d)     Amar ma’ruf nahi munkar merupakan sikap hidup orang yang beriman
e)      Meninggalkan Amar ma’ruf nahi munkar akan membawa petaka

D.   Manfaat Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1)   Dapat mencegah orang lain dalam melakukan kemunkaran
2)   Melindungi orang yang terdzalimi
3)   Terhindar dari malapetaka
4)   Menjadi pelindung masyarakat
5)   Menjadi manusia yang akan diangkat derajatnya
6)   Mempunyai rasa keimanan
7)   Sebagai pembeda dari orang-orang yang fasik, dzalim dan kufur
8)   Mendapat pahala
9)   Termasuk bagian dari penerus para rasul
10)    Termasuk orang yang beruntung  di akhirat
Sabda rasul SAW:
من دلّ على خير فله مثل أجر فاعله (رواه مسلم)

“barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang ,melaksanakannya {Hr. Muslim)










BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
          Berdasarkan pada rubrik pembahasan dapat disimpulkan  bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim sekalipun dalam kondisi yang lemah. Oleh karena itu komitmen untuk mengajak pada kebaikan dan kebajikan tidak dituntut seseorang untuk menjadi seorang ustadz atau menjadi ulama’ terlebih dahulu. Untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tidak perlu menunggukesempatan-kesempatan formal, akan tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan yang menyatu dengan keseharian orang muslim baik di rumah, di kantor, pasar dan dimanapun selalu terbuka lahan untuk mengakkan amar ma’rufnahi munkar.
            Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang muslim untuk menunaikan tugas dakwahnya dan tidak harus menunggu menjadu ustadz yang pandai berceramah banyak persoalan dakwah yang sering kali memerlukan penyelesaian justru tidak dalam suasana serba yang serius dan ilmiyah dalam mengungkapkannya. Suasana-suasana santai justru lebih di perlukanuntuk membawa kesegaran hati dan pikiran orang dalam menerima kebenaran dan kebaikan. Namun bukan berarti pula mencari ilmu di abaikan.
     Sabda rasul SAW:
من دلّ على خير فله مثل أجر فاعله (رواه مسلم)
“barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang ,melaksanakannya {Hr. Muslim)
B.   Saran
Kami sadar bahwa usaha kami dalam menyempurnakan makalah ini sangatlah kurang, maka dari itu kami mengharap saran dan keritik yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan makalah kami ini, dan kami mohon maaf apabila didalamnya terdapat banyak kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.



DAFTAR PUSTAKA
AS, sunarto. “kiyai prostitusi”  (Surabaya, IDIAL_MUI, 2013)

Ali Aziz,  Moh. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015)
Makalah kelompok satu “hadits dakwah” KPI A1 semester II (kamis, 19 maret 2015)



[1][1] Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015) hlm.37
[2] Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015) hlm.37
[3] Dr. H. Sunarto AS., M.Ei. kiyai prostitusi  (Surabaya, IDIAL_MUI, 2013) hlm 16-17
[4] Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015) hlm. 220
[5][5] Makalah kelompok satu “hadits dakwah” (kamis, 19 maret 2015) KPI A1 semester II. Hlm, 3
Perlu kesadaran setiap individu dalam menjaga kebersihan
“Kebersihan sebagian dari iman”, mungkin sekilas hadits ini sudah sering kita dengar, baik kita dengar dari guru, kita baca dari buku, hingga seterusnya. Jika kita lihat sekilas, hadits ini mengindikasikan bahwa salah satu ciri orang yang beriman adalah menjaga kebersihan. salah satunya adalah kebersihan lingkungan. Namun fakta yang kita jumpai disekeliling kita seperti di lingkungan kampus, baik dalam fakultas maupun universitas, masalah kebersihan lingkungan ini masih belum terealisasi secara baik. Keadaan yang semacam ini menunjukkan bahwa diri kita masih acuh tak acuh terhadap kebersihan.
 Sebagai seorang mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, yang notabennya merupakan perguruan tinggi islam, yang lebih mengerti akan makna yang terkandung dalam hadits di atas, mengaplikasikan kebersihan lingkungan merupakan kewajiban yang tidak bisa tolak. Baik secara prinsip individu maupun prinsip sosial secara umum. Jika kita toleh pada lembaga-lembaga lain seperti di UNAIR, UNESA, hingga Universitas PETRA yang notabennya bukan perguruan tinggi islam, mereka lebih mampu dalam mengaplikasikan kebersihan terhadap lingkungannya, sehingga kebersihan dilingkungan mereka benar-benar terealisasi secara baik.

Pada prinsipnya, Faktor yang mendasari terciptanya kebersihan ada tiga hal, yang pertama adalah, adanya petugas khusus dalam menjaga kebersihan. Yang kedua adalah, adanya tempat pembuangan sampah. Dan yang ketiga adalah, kesadaran pribadi setiap individu yang ada dilingkungan sekitar terhadap nilai-nilai kebersihan. Jika kita toleh kembali pada lingkungan kita, baik dalam fakultas maupun universitas, faktor yang pertama dan yang kedua nampak sudah terealisasi secara baik, namun faktor yang terakhir ini masih belum terlihat secara transparan. Hal ini bisa dibuktikan ketika kita melihat masih banyak mahasiswa yang membuang sampah bukan pada tempatnya, sehingga kita banyak menemukan sampah diberbagai tempat, seperti di kantong bangku, sela-sela kaca gedung, hingga halaman kelas dan fakultas pada umumnya. bagian inilah yang perlu untuk kita kritisi dalam rangka meningkatkan kesadaran setiap individu, agar mampu merealisasikan kebersihan di lingkungan sekitar kita.
MAHASISWA RAMAIKAN KREATIFITAS BISNIS DALAM KAMPUS
Untuk mengisi waktu luang, Mahasiswa UINSA ramaikan kreatifitas bisnis dalam kampus, mulai dari menjual makanan, pulsa hanphone, hingga pakaian.
 Segelintir mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya, memilih berkreatifitas lewat usaha didalam kampus untuk mengisi waktu kosong disela-sela kuliahnya. Seperti yang dipaparkan oleh Ghoni, salah satu mahasisiwa fakultas dakwah dan komunikasi, bahwa ia memilih usaha bisnis didalam kampus dengan menjual roti, dengan berbagai macam varian roti yang dijualnya. Seperti donat, pastel, brounis, dan banyak varian lainnya. “saya lebih memilih usaha atau bisnis di dalam kampus dengan menjual roti dengan berbagai macam jenisnya, seperti donat, pestel, brounis dan banyak macam lainnya” ungkapnya.
            Ghoni menambahkan bahwa tujuannya berjualan didalam kampus adalah untuk membantu meringankan beban orang tuannya yang membiayainya kuliah. Selain itu untuk melatih dirinya agar mempunyai jiwa entrepreneur sejak kuliah. Karena banyak dari mahasiswa sekarang yang menurutnya tidak dapat berkreatifitas karena diliputu rasa malu. “motivasi saya dalam berjualan didalam kampus ini sederhana saja, untuk membantu beban ortu yang membiayai saya kuliah, dan juga untuk malatih diri saya agar mempunyai jiwa entrepreneur sejak kuliah, karena kebanyakan dari mahasiswa sekarang banyak yang malu untuk usaha didalam kampus”. Paparnya.
            Senada dengan Ghoni, Zizi mahasiswi asal pasuruan ini juga memilih usaha dibidang kuliner didalam kampus, agak berbeda dengan yang lain, Zizi menjual kuliner yang ia namai dengan frozen food, menurutnya kuliner ini merupakan kuliner yang menekan pada kualitas rasa dan kesehatan konsumen, karena didalamnya tidak terdapat bahan pengawet atau MSG. model penjualan yang ditawarkan Zizi pun berbeda dengan yang lain, ia menjualnya dengan membawa katalog atau daftar menu makanan yang ia jual, dan juga didalamnya terdapat beberapa paket yang ditawarkan, mulai dari paket satu hingga paket enam. Menurutnya perbedaannya terletak pada jenis hingga rasa yang berbeda pula dengan varian harga 10.000 hingga 20.000. Zizi juga beralasan bahwa ia memilih menjualnya didalam kampus adalah untuk mempromosikan “makanan sehat”, menurutnya selama ini mahasiswa kurang sadar dengan pola makanan yang dikonsumsi oleh mahasiswa. Maka dari itu ia menawarkan makanan yang sehat namun juga tetap terjangkau oleh kalangan mahasiswa.
            Berbeda dengan Ghoni dan Zizi, Afi mahasiswi prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam ini lebih memilih usaha dengan menjual pusla didalam kampus. Afi beralasan bahwa ia lebih memilih untuk menjual pulsa  karena didaerahnya terdapat agen penjualan pulsa yang murah selain itu baginya menjual pulsa tidak membutuhkan modal yang besar, cukup dengan modal 50 ribu sudah cukup untuk membuka usaha penjualan pulsa. selain itu ia juga berasalan bahwa ia lebih memilih menjual pulsa didalam kampus karena pulsa sangat dibutuhkan bagi mahasiswa, apalagi counter penjualan pulsa ini sangat jauh dari kampus. “sebenarnya mengapa saya memilih menjual pulsa, karena didaerah saya terdapat agen yang menjual pulsa yang cukup murah, selain itu modalnya cukup dengan 50 ribu sudah cukup untuk buka usaha, selain itu pulsa banyak dibutuhkan mahasiswa apalagi counter sangat jauh dari sini”. Ujarnya.

            Berbeda pula dengan Nai, mahasiswi ini lebih memilih menjual pakaian muslim dan muslimah kepada mahasiswa, ia menjualnya dengan sistem pemesanan karena ia hanya membawa katalog yang berisi berbagai macam jenis pakaian dan harga yang ditawarkannya. Ia beralasan bahwa mahasiswa sekarang lebih banyak menyukai pakaian yang modis dan corak yang dipakai mahasiswa saat ini cenderung stylis dari atas hingga bawah. “ saya jual dengan sitem pemesanan saja karena yang dibawa hanya katalognya saja. mengapa saya memilih menjual pakaian di dalam kampus karena kebanyakan mahasiswa sekarang ini kan cenderung modis, stylis dari atas hingga bawah, jadi saya pikir itu juga termasuk kebutuhan mahasiswa”. Ungkapnya.

Sabtu, 25 April 2015

makalah nasikh mansukh



BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Fenomena Naskh yang keberadaannya diakui oleh mayoritas ulama,merupakan bukti terbesar, bahwa ada dialektika hubungan antara wahyu dan realitas. Sebab naskh adalah pembatalan atau penggantian hukum, baik dengan penghampusan, dan menghilangkan teks yang menunjuk hukum dari bacaan ( dengan tidak dimasukkan dalam kondifikasi al-qur’an ), atau membiarkan teks tersebut tetap sebagai petunjuk adanya ‘hukum’ yang dimansukh.
Namun fenomina naskh dalam pemikiran agama yang hegemoni dan dominan melahirkan dua problem yang dihindari untuk didiskusikan. Pertama; problem bagaimana mengompromikan antara fenomina ini, dengan konsekwensi yang ditimbulkannya, bahwa teks mengalami perubahan melalui naskh, dengan keyakinan umum, bahwa teks sudah ada sejak zaman azali di lauwh makhfudz? Kedua; ‘pengumpulan al-qur’an’ pada masa khalifah abu bakar. Antara naskh dengan problem pengumpulan menjadi terkait dengan contoh-contoh yang diketengahkan oleh ulama dapat menimbulakan kesan, bahwa sebagian dari bagian-bagian teks telah terlupakan dari ingatan manusia.
2.      Rumusan Masalah
1)      Apa pengertian nasikh mansukh?
2)      Bagaimana latar belakang teori nasikh mansukh?
3.      Tujuan
Mengetahui pengertian Naskh Mansukh, dan latar belakang teori Naskh Masnsukh.








BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Nasikh dan Mansukh
Secara etimologi Nasikh mempunyai beberapa arti antara lain;
1.      Al-Izalah wa Al-i’dam ( menghapus / menghilangkan ) seperti dalam Q.S al-hajj; 52;
.....فينسخ ا لله ما يلقي ا لشيطان ...
(Dan allah menghilangkan apa yang di masukkan oleh syaithan itu.)
2.     At-taghyir wa al-ibtal wa iqamah as-shai’ maqamahu  ( mengganti / menukar ), sebagaimana Q.S al-baqarah; 106 )
...ما ننسخ من اية أوننسها نأت بخير منها أو مثلها....
(Ayat mana saja  yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik dari padanya atau yang sebanding dengannya).
3.     An-naql min kitab ila kitab( menyalin /mengutip ) sebagaimana dalam Q.S al-jasiyah;29;
إنّا كنّا نستنسخ ما كنتم تعلمون.........
(Allah berfirman ); inilah kitab ( catatan ) kami dalam menuturkan terhadapmu dengan benar sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan ”.
Makna yang paling relevan menurut  menurut pandangan para pendukung adanya teori dan konsep nasikh mansukh adalah dalam arti poin 2) at-taghyir wa al ibtal wa iqamah ash-sha’i maqamahu ( mengganti / menukar ). Secara termonilogi nasikh adalah;
النسخ رفع الحكم الشرعي مع التراخي علي وجه لولآه لكان الحكم الاول ثابتا
(mengganti hukum syara’ dengan memakai dalil syara’ dengan adanya tenggang waktu,dengan catatan kalau sekiranya tidak adanya nasikh itu tentulah hukum hukum yang pertama tetap berlaku).
Contoh kewajiban hukum yang tertuang dalam Q.S al mujadalah 12
ياايهاالذين امنوا إذا نجيتموالرسول فقدّموا بين يدي نجويكم صدقة,ذالك خيرلكم واطهر,فإن لم تجدوا فإن الله غفوررحيم.
)hai  orang-orang yang beriman apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah  (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan)  maka sesungguhnya allah maha pengampun lahi maha penyayang ).
Dengan adanya kebebasan yangdi tawarkan dalam Q.S al-mujadalah 13;
ءأشفقتم أن تقدّموابين يدي نجويكم صدقت، فإن لم تفعلواوتاب الله عليكم فاقيمواالصّلاوَة واتواالزكاة واطيعواالله ورسولوه،والله خبيربما تعملون.
(apakah kamu takut akan menjadi (miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan allah telah memberi taubat kepadamu  maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada allah dan rasulnya,dan allah maha mengetahui apa yang kamu lakukan).
Maka tidak lagi wajib hukum yang tertuang dalam ayat sebelumnya. Nasikh secara terminologi tersebut diatas memiliki dua konotasi yaitu 1. Hukumsyara’ atau dalil syara’ yang mengganti dalil syara’ yang mendahuluinya. Seperti contoh di atas. 2. Hanya Allah yang berhak mengganti, sebagaimna firman Allah dalam Q.S al-An’am;57.
إن الحكم إلا لِلّه،يقصّ الحق،وهو خيرالفصلين
(Menetapkan hukum itu hanya hak Allah dia menerangkan yang sebenarnya dan dia pemberi keputusan yang paling baik.)
Sedangkan Mansukh, secara etimologi berarti suatu yang diganti. Secara terminologi berarti hukum syara’ yang menempati posisi awal,yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara’ yang datang kemudian.
Arti Nasikh Mansukh Dalam  Istilah Fuqaha’ yaitu;[1]
1.   Membatalkan hukum yang telah diperoleh dari nas yang terdahulu dengan suatu nas yang baru datang seperti cegahan terhadap ziarah kubur oleh Nabi, lalu Nabi memperbolehkannya.
2.    Mengangkat nas yang umum, atau membatasi kemutlakan nas, seperti
-Q.S.al-Baqarah;228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ.......
 (dan wanita-wanita yang ditalak hendaklah (menunggu) tiga kali quru’)....
-Q.S.al-Ahzab;49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا
(Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas meeka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya).
3.    Contoh mengangkat/menghilangkan yang umum, seperti
-Q.S.al-Maidah;3
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
(Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah).
-Q.S.al-An’am:145;
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
(Katakanlah: “Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang”).
Nas yang pertama mengenai segala jenis darah (mutlaq). Nas yang kedua membatasinya yaitu darah mengalir. Syarat-syarat Nasikh:
a)        Hukum yang di mansukh harus berupa hukum syara’ (bukan hukum akal dan juga bukan hukum produk manusia) yakni perintah allah dan rasulnya yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf,baik wajib,haram,makruh atau mubah, dan dalil yang mengganti (nasikh) juga harus berupa dallil  syara’.
b)        Adanya dalil baru yang mengganti (nasikh) harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama (mansukh).
c)        Antara dua dalil nasukh dan mansukh atau antara dalil 1 dan dalil 2 tersebut harus ada pertentangan yang nyata (kontradiktif).
d)       Dalil yang mengganti (nasikh) harus bersifat mutawatir. Karena dalil dan ketetapan hukumnya telah terbukti secara pasti, maka tidak di nasikh kecuali oleh hukum yang terbukti secara pasti pula[2].

B.       Kontrofeversi tentang adanya Nasikh-Mansukh dalam Al-Qur’an
Latar belakang timbulnya naskh mansukh dalam Islam antara lain:
1)   Timbulnya isu nasikh mansukh dalam as-sunnah.
2)   Para sahabat menggunakan istilah nasikh mansukh dalam al-Qur’an. Dan yang dikehendaki adalah pentakhsisan dari yang ‘am, pentaqyidan dari yang mutlaq, dan pentafsilan dari yang mujmal.
3)   Adanya ayat-ayat yang sepintas lalu menunjukkan gejala kontradiksi.
Tanggapan atas teori Nasikh Mansukh tersebut, maka dapat diklasifikasikan kedalam empat kelompok, atas dasar penggunaan makna etimologi maupun terminologi.
1.Menggunakan makna رفع الحكم الشرعي بدليل شرعي(menghapus suatu hukum syara’ dengan dalil syara’).
2.   Menggunakan makna at-Tabdil (pergantian/penukaran/pemindahan ayat hukum ditempat ayat hukum yang lain). Dalam arti bahwa semua ayat Al-Qur’an tetap berlaku, tidak ada kontradiksi, yang ada hanya penggantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang bebeda. Dengan demikian, ayat hukum yang tidak berlaku baginya/mereka, tetap berlaku bagi orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula[3].
3.  Bermakna penagguhan hukum, sebagaimana pendapat az-Zarkasyi yang menyatakan bahwa setiap perintah yang datang wajib kita ikuti, disaat kita memperoleh illat, dan bila illatnya hilang
( الحكم يدور مع علّته وجودا وعدما)
maka kita boleh berpindah pada hukum yang lain[4]. Pendapat ini diikuti oleh Quraisy Shihab[5].
4.  Menggunakan / mengidentikkan dengan Takhsis.

C.     Problematika Naskh Mansukh
Persamaan dan Perbedaan Nasikh dengan Takhsis:
Persamaanya:
1)      Sama-sama memberi batasan suatu ketentuan hukum. Naskh memberi batasan waktu, sedangkan Takhsis memberi batasan materi.
2)      Sama-sama memberi batasan berlakunya suatu ketentuan hukum syara’.
3)      Sama-sama berupa dalil syara’.
Perbedaanya:
1)      Lafal ‘am setelah ditakhsis menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum. Sedangkan lafal dalil yang dimansukh sudah tidak berlaku lagi, sehingga sudah jelas jangkauannya telah terhenti. Contoh; ketentuan Q.S.al-Mujadalah: 12 tidak berlaku lagi karena telah ada ketentuan baru dalam Q.S.al-Mujadalah: 13.
2)      Ketentuan hukumnya sejak semula sudah dikecualikan dengan takhsis, sedang hukum yang dimansukh pada mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat. Tetapai setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukumnya dimansukh. Contoh (takhsis); Q.S.al-’Asr:,
لاَ يَحِلُّ لَكَ النِّسَآءُ مِن بَعدُ وَلآ أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِن أَزوَجٍ ولو أعجبك حسنهنّ إلاّ ما ملكت يمينك. وكا ن الله على كلِّ شيءٍ رَّقيباً .
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-erempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.
Larangan kawin bagi Nabi Muhammad SAW telah dilarang, dan telah berlaku beberapa waktu lamanya, tetapi karena sering terjadi peperangan yang menyababkan banyaknya sahabat yang gugur, sehingga banyak janda yang terlantar, maka turunlah ayat yang menasikhnya, yaitu (mansukh) Q.S.al-Ahzab:50;
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِنَّا أَحْلَلْنَا لَكَ أَزْوَاجَكَ اللاتِي آتَيْتَ أُجُورَهُنَّ وَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْكَ وَبَنَاتِ عَمِّكَ وَبَنَاتِ عَمَّاتِكَ وَبَنَاتِ خَالِكَ وَبَنَاتِ خَالاتِكَ اللاتِي هَاجَرْنَ مَعَكَ وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mu’min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibka kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
3)      Nasikh membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh, sedangkan takhsis tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja, sedang ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak dikecualikan dengan pembatasan.
4)      Nasikh tidak dapat terjadi kecuali dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedang takhsis bisa saja terjadi dalam dalam Al-Qu’an, As-Sunnah, ataupun hukum lain di luar keduanya.
5)      Naskh itu dalil nasikhnya harus datang kemudian setelah ketentuan dari dalil yang pertama itu berlaku terlebih dahulu, lalu dihapuskan. Sedang dalam takhsis, dalil yang men-takhsis (mukhassis­)nya boleh datang bersamaan dengan dalil yang di-takhsis­.
Cara Mengetahui Adanya Nasikh dan Mansukh
Syarat yang harus dilakukan ketika menentukan terjadinya nasikh dan mansukh yaitu:
1.      Bila ada dua ayat hukum yang nampak saling kontradiksi dan tidak dapat dikompromikan.
2.      Harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya ayat-ayat tersebut, sehingga ayat yang terlebih dahulu ditetapkan sebagai mansukh, dan ayat yang turun kemudian sebagai nasikh.
Ada tiga cara untuk mengetahui untuk mengetahui ketentuan dalil yang terdahulu turun dan yang turun kemudian. Yaitu:
a)      Dalam salah satu dalil, nasnya harus ada yang menentukan turunnya lebih belakangan dari dalil yang lain. Contoh dalam Q.S.al-Anfal:66;
آلئن خفّف اللهُ عنكم وعلم أنّ فيكم ضعفًا . فاإن يكن مّنكم مّائة صابرةٌ يغلبوا ماْئتينِ . وإن يكن مّنكم ألفٌ يغلبوا ألفين بإذن الله . والله مع الصّبرين .
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat menglahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
Dari ayat ini diperoleh indikasi dari kata آلئن خفّف اللهُ عنكمbahwa ayat tersebut datang sesudah Q.S.al-Anfal:65;
يَآء يُّها النّبيّ حرض الموء منين على القتالى . إن يكن مّنكم عشرون صَبرون يغلبوا مِا ئتين . وإن يكن مّنكم مّا ئةٌ يّغلبوا ألفًا مّن اللذين كفروا بأنّهم قومٌ لاّ يفقهون .
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
b)      Harus ada kesepakatan (konsensus) ijma’ para imam dalam suatu masa yang menetapkan bahwa salah satu dari dua dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian.
c)      Harus ada riwayat sahih dari salah satu seorang sahabat menentukan mana yang datang terlebih dahulu dari kedua dalil nas yang saling bertentangan tadi.

D.     Macam dan Hikmah Nasikh Mansukh
Macam Naskh, Naskh memiliki tiga pola, antara lain:
1.      Ayat yang teksnya dinaskh, namun hukumnya tetap berlaku. Seperti hukum rajam dari riwyat Umar bin khattab dan Ubai bin Ka’ab:
كان فيمآ أنزل من القرآن الشيخ و الشيخة إذا زنيا فار جموهما البتة نكا لا من الله.
Termasuk bagian hukum yang pernah tertuang dalam Al-Qur’an adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan yang telah sama-sama punya istri dan suami melakukan perzinaan, maka hukumlah mereka sebagai hukuman dari Allah swt.
Hikmah dari pola ini adalah untuk menguji sejauh mana kualitas ketaatan umat islam dalam kepasrahannya mengabdikan diri kepada hukum Allah berdasarkan dugaan tanpa menunggu dalil qat’i, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s ketika menerima perintah menyembelih melalui mimpi, padahal mimpi merupakan sarana pewahyuan yang paling rendah.
Kelemahan pola ini:
a)      Hukum syara’ akan (berkemungkinan) berubah menjadi misteri-misteri yang hanya diketahui oleh kalangan tertentu.
b)      Bagaimana mungkin bisa terjadi naskh tanpa ada nasikh (pengganti) (Q.S.al-Baqarah:106).
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
2.      Ayat yang hukumnya dinaskh namun teksnya masih tetap. Inilah satu-satunya pola yang disepakati. Dasar pertimbangan naskh adalah kronologi turunnya, bukan urutan pembacaanya. Contoh Q.S.al-Baqarah: 240 (mansukh);
والّذين يتوفّون منكم ويذرون أزوجًا وصيّةً لاِّءزوجهم متعًا إلىَ الحولِ غير إخراجٍ . فإن خرجن فلا جُناحَ عليكم فى أنفسهنّ من معروفٍ . واللهُ عزيزٌ حكيم .
Dan orang-orang akan meninggal dunia diantaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Yang menaskh adalah Q.S.al-Baqarah:234;
والّذين يتوفّون منكم ويذرون أزوجًا يتربّصن بأنفسهنّ أربعة أشهرٍ وعشرًا . فإذا بلغن أجلهنّ فلا جناح عليكم فيما فعلن فى أنفسهنّ بالمعرؤف . والله بما تعملون خبير.
Orang-orang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Hikmah dibalik pola ini bukan hanya mengingatkan nikmat dan menghapuskan kesulitan, tetapi juga sebagai penangguhan hukum karena faktor-faktor yang mengharuskannya tidak ada.
3.      Ayat yang teks dan hukumnya sekaligus dinaskh
Dalil yang menunjukkan terjadinya pola ini adalah hadist sama’i yang bersumber dari Aisyah H.R. Muslim;
كان فيمآ أنزل عشرر ضا عا ت معلومات يحرمن, بخمس معلومات فتوفى فتوفى رسول الله صلى الله عليه وسلم وهن مما يقرأ من القرآن .
Pernah diturunkan ayat tentang hukum 10 kali susuan yang ditentukan, maka ia menyebabkan menjadi muhrim, lalu ia diganti hukumnya dengan 5 kali susuan yang ditentukan, lalu Rasulullah saw wafat. Hukum tersebut pernah menjadi bagian dari yang terbaca dalam Al-Qur’an.
Mayoritas ulama berpendapat bahwa riwayat tersebut termasuk ahad.
Hikmah Naskh Mansukh
1)      Bagi yang memberikan makna penangguhan, fungsi naskh adalah penahapan dalam tasyri’ dan pemberian kemudahan/keringanan/kemudahan.
2)      Bagi pendukung konsep nasikh mansukh
a). Hikmah nasikh secara umum
1.      Untuk menunjukkan bahwa syari’at islam adalah syari’at yang paling sempurna.
2.      Selalu menjaga kemaslahatan umat manusia.dan hal ini akan berubah atau berbeda akibat perbedaan waktu dan tempat, sehingga apabila suatu hukum yang diundangkan pada suatu waktu karena adanya kebutuhan yang mendesak (ketika itu) kemudian kebutuhan tersebut berakhir, maka suatu tindakan bijaksana apabila ia dinasikh (diganti) dengan hukum yang sesuai dengan waktu dan tempat, sehingga ia menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba-hamba Allah.
3.      Untuk menjaga agar perkembangan hukum islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat yang mengamalkan dan mengaktualkan.
4.      Untuk menguji kualitas keimanan umat manusia.
5.      Untuk menambah kebaikan bagi umat manusia yang mau mengamalkannya dalam segala kondisinya.
6.      Untuk memberi despensasi dan keringanan bagi umat manusia.

b). Hikmah nasikh tanpa pengganti
Seperti pola naskh dalam Q.S.al-Mujadalah:12 (mansukh)
Oleh Q.S.al-Mujadalah:13 (nasikh). Hikmahnya antara lain untuk menjaga kemaslahatan umat manusia.
c). Hikmah naskh dengan pengganti yang seimbang. Seperti menasikh ketentuan menghadap kiblat ke Baitul Maqdis di Palestina dalam Q.S.al-Baqarah:144;
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
sungguh Kami sering melihat mukamu menegadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhanny; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.

d). Hikmah naskh dengan pengganti yang lebih berat. Seperti Q.S.an-Nisa’:15 (hanya memberi hukuman kurungan);
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا

Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.

Yang dimansukh dengan Q.S.an-Nur:2;

Perempuan yang berzina dan laki-laki yamg berzina, maka deralah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.

e)-Hikmah naskh dengan pengganti yang lebih ringan. Seperti menaskh Q.S.al-Anfal:65, yang menentukan rasio tentara islam dengan tentara musuh dengan 1:10, diganti dengan Q.S.al-Anfal: 66, yang mengubah rasio itu hanya tinggal 1:2 saja.

Hikmahnya antara lain untuk memberi dispensasi kepada umat manusia agar mereka merasakan kemurahan Allah.




[1]M. Khudari, Tarikh at-tasyri’ dan usul fiqih
[2]Ash-syatibi,al muwafaqat fi usul al fiqhi ( bairut; dar al-ma’ari 1975 ) III; 105
[3]Sayyid Rayid Rida, Tafsir Al Manar (Mesir: Dar Al-Manar, 1367 H) I:237.
[4]Az-Zarkashy, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, II:42.
[5]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet.I (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2000), I: 277