Oposisi
Mahasisiwa dalam Kemandulan
Mahasiswa menjadi agen
perubahan (agent of change) disetiap rentan waktu kekuasaan. Kasus
mundurnya Soeharto tanggal 21 mei 1998 dari jabatan presiden yang sudah
dipeganggnya selama 32 tahun menjadi sebuah contoh yang sangat menarik bagi
kita sebenarnya, bagaimana peran mahasiswa itu mampu menjadi sebuah oposisi yang
sangat absolut sekaligus riil dan tanpa sebuah kontrol secara efektif.
Jika kekuatan yang dimiliki mahasiswa sebagai sebuah oposisi sudah mandul,
tentu kehidupan demokrasi ini sudah tidak baik. Sebab harapan terbesar
masyarakat adalah mahasisiwa. mungkin di era Soeharto Indonesia masih belum
mengenal oposisi karena jika kita menoleh pada sejarah pada saat itu tidak ada
partai menang-kalah. Ini sebuah usaha yang sangat menggelitik bagi mahasisiwa
sebagai pusat propaganda atau counter propaganda agar mahasiswa tetap
kritis menyikapi perubahan.
Sehubungan dengan hal di
atas, layak kiranya sebagai mahasisiwa jika menformat dirinya sebagai oposisi.
Karena dalam sejarah di atas lengsernya soeharto tidak mungkin terjadi dan
tidak akan pernah terwujud, jika tidak ada keinginan mahasisiwa untuk
menggugatnya. Namun jika kita menoleh pada era sekarang, gembar-gembor
terulangnya aksi 1998 di era Jokowi ini sudah menjadi issu yang kita
nantikan, apakah issu tersebut menjadi terealisasi secara nyata atau
tidak. Namun fakta tentang aksi mahasisiwa di 20 Mei kemaren, nampaknya menjadi
sejarah kemandulan mahasiswa sebagai oposisi. Mengapa tidak? Sebab dalam sebuah
kabar berita online, aksi 20 Mei di Jakarta hanya di ikuti oleh 20 aktivis
mahasisiwa yang melakukan demontrasi. Sunngguh hal yang sangat jauh berbeda
pada era Soeharto. Mungkin era Jokowi ini masih dianggap lebih baik dan masih
dalam kontroling media. Lalu bagaimana jika media sekarang berada di genggaman
sang birokrasi? hal ini menjadi bahan intropeksi bagi mahasiswa.
Mereingkarnasikan Semangat Oposisi Mahasiswa
Mengapa
harus mahasiswa? Dalam bukunya Nuruddin menuliskan paling tidak ada beberapa
alasan. Pertama posisi mahasiswa relatif lebih kecil dalam hal
kepentingan politik (interes politik). Dalam sejarah telah terbukti, bahwa
mahasisiwa hanya bertindak sebagai kekuatan moral (moral of force) dalam
menyikapi kondisi sosial politik dan lepas dari kepentingan politik tertentu.
Jika sudah begitu mahasisiwa memang harus terlepas dari kepentingan-kepentingan
pihak tertentu, dan tindakan atau aksi-aksi mahasisiwa memang harus murni untuk
kepentingan rakyat Indonesia khusunya. Maka jika saja peran mahasisiwa yang semacam
ini, sudah tidak lagi menjadi bagian dari fungsi mahasisiwa era sekarang, ini
menjadi sejarah kemandulan fungsionalis mahasisiwa sebagai moral of force.
Kedua mahasisiwa mampu memainkan peran
sebagai kelompok pemberi tekanan atau (pressure group). Dalam posisi ini
seharusnya mahasisiwa mampu dan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap
melenceng. Oleh karena itu, sifat kritis mahasiswa akan selalu ada dan mampu
terwujud jika dalam setiap individu mahasisiwa terdapat semangat oposisi. Mengapa
demikian? sebab buat apa mahasiswa bersikap oposisi secara formal jika tingkah
lakunya arogan atau bersikap layaknya mau menang sendiri dan hanya merongrong.
Seharusnya semangat oposisi mahasisiwa ini dibarengi dengan pemikiran yang
lebih jernih dengan tetap berpegang teguh pada amar ma’ruf nahi munkar?
Dan usaha untuk mewujudkan semangat oposisi ini menjadi wajib sebagai sebuah
manivestasi dari tanggung jawab mahasisiwa kepada masyarakat sekaligus
menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi.
Di balik tanggung jawab yang
besar, mahasiswa juga harus sadar bahwa dirinya berada dalam taraf yang labil dan cenderung berpandangan sempit,
sehingga mahasisiwa rentan ditunggangi oleh pihak lain. oleh karena itu
kelemahan semacam ini harus disadari betul oleh mahasisiwa sebagai agent of
control, agar nantinya segala tindakan yang dilakukan oleh mahasisiwa dapat
terarah sebagaimana mestinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar