Kamis, 28 Mei 2015

oposisi mahasisiwa



Oposisi Mahasisiwa dalam Kemandulan
Mahasiswa menjadi agen perubahan (agent of change) disetiap rentan waktu kekuasaan. Kasus mundurnya Soeharto tanggal 21 mei 1998 dari jabatan presiden yang sudah dipeganggnya selama 32 tahun menjadi sebuah contoh yang sangat menarik bagi kita sebenarnya, bagaimana peran mahasiswa itu mampu menjadi sebuah oposisi yang sangat absolut sekaligus riil dan tanpa sebuah kontrol secara efektif. Jika kekuatan yang dimiliki mahasiswa sebagai sebuah oposisi sudah mandul, tentu kehidupan demokrasi ini sudah tidak baik. Sebab harapan terbesar masyarakat adalah mahasisiwa. mungkin di era Soeharto Indonesia masih belum mengenal oposisi karena jika kita menoleh pada sejarah pada saat itu tidak ada partai menang-kalah. Ini sebuah usaha yang sangat menggelitik bagi mahasisiwa sebagai pusat propaganda atau counter propaganda agar mahasiswa tetap kritis menyikapi perubahan.
Sehubungan dengan hal di atas, layak kiranya sebagai mahasisiwa jika menformat dirinya sebagai oposisi. Karena dalam sejarah di atas lengsernya soeharto tidak mungkin terjadi dan tidak akan pernah terwujud, jika tidak ada keinginan mahasisiwa untuk menggugatnya. Namun jika kita menoleh pada era sekarang, gembar-gembor terulangnya aksi 1998 di era Jokowi ini sudah menjadi issu yang kita nantikan, apakah issu tersebut menjadi terealisasi secara nyata atau tidak. Namun fakta tentang aksi mahasisiwa di 20 Mei kemaren, nampaknya menjadi sejarah kemandulan mahasiswa sebagai oposisi. Mengapa tidak? Sebab dalam sebuah kabar berita online, aksi 20 Mei di Jakarta hanya di ikuti oleh 20 aktivis mahasisiwa yang melakukan demontrasi. Sunngguh hal yang sangat jauh berbeda pada era Soeharto. Mungkin era Jokowi ini masih dianggap lebih baik dan masih dalam kontroling media. Lalu bagaimana jika media sekarang berada di genggaman sang birokrasi? hal ini menjadi bahan intropeksi bagi mahasiswa.
Mereingkarnasikan Semangat Oposisi Mahasiswa
            Mengapa harus mahasiswa? Dalam bukunya Nuruddin menuliskan paling tidak ada beberapa alasan. Pertama posisi mahasiswa relatif lebih kecil dalam hal kepentingan politik (interes politik). Dalam sejarah telah terbukti, bahwa mahasisiwa hanya bertindak sebagai kekuatan moral (moral of force) dalam menyikapi kondisi sosial politik dan lepas dari kepentingan politik tertentu. Jika sudah begitu mahasisiwa memang harus terlepas dari kepentingan-kepentingan pihak tertentu, dan tindakan atau aksi-aksi mahasisiwa memang harus murni untuk kepentingan rakyat Indonesia khusunya. Maka jika saja peran mahasisiwa yang semacam ini, sudah tidak lagi menjadi bagian dari fungsi mahasisiwa era sekarang, ini menjadi sejarah kemandulan fungsionalis mahasisiwa sebagai moral of force.
 Kedua mahasisiwa mampu memainkan peran sebagai kelompok pemberi tekanan atau (pressure group). Dalam posisi ini seharusnya mahasisiwa mampu dan selalu mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap melenceng. Oleh karena itu, sifat kritis mahasiswa akan selalu ada dan mampu terwujud jika dalam setiap individu mahasisiwa terdapat semangat oposisi. Mengapa demikian? sebab buat apa mahasiswa bersikap oposisi secara formal jika tingkah lakunya arogan atau bersikap layaknya mau menang sendiri dan hanya merongrong. Seharusnya semangat oposisi mahasisiwa ini dibarengi dengan pemikiran yang lebih jernih dengan tetap berpegang teguh pada amar ma’ruf nahi munkar? Dan usaha untuk mewujudkan semangat oposisi ini menjadi wajib sebagai sebuah manivestasi dari tanggung jawab mahasisiwa kepada masyarakat sekaligus menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi.
Di balik tanggung jawab yang besar, mahasiswa juga harus sadar bahwa dirinya berada dalam taraf  yang labil dan cenderung berpandangan sempit, sehingga mahasisiwa rentan ditunggangi oleh pihak lain. oleh karena itu kelemahan semacam ini harus disadari betul oleh mahasisiwa sebagai agent of control, agar nantinya segala tindakan yang dilakukan oleh mahasisiwa dapat terarah sebagaimana mestinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar