BAB I
PENDAHULUAN
A.
LatarBelakang
Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin. Namun seiring berkembangnya
teknologi semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai agamistik islamiyah,
Etika dan moral umat islam saat ini lebih banyak bersifat keduniawian sehinggaan
mereka cenderung jauh dari Allah SWT. Etika mereka menjadi rusak. Ibadah mereka
menjadi hancur, bahkan agama hanya sebagai pelengkap identitas mereka. Hubungan
antar sesama manusia sudah carut-marut tidak lagi ada kesopanan, bahkan yang
menonjol adalah sebuah kedzaliman.
Berangkat dari situlah kita sebagai umat islam yang tau betul bahwa
islam sangat menganjurkan kita untuk memerangi hal tersebut, yang sering kita
kenal dengan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” yang mana kedua hal
tersebut merupakan pondasi dasar dari pada pondasi-pondasi akhlaq yang mulia.
Kewajiban menegakkan kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat penting dan
tidak bisa ditawar lagi bagi siapa saja yang mampu serta mempunyai kekuatan
untuk melakukannya. Namun permasalahannya adalah umat islam pada masa sekarang
sudah tidak lagi memperhatikan kedua hal tersebut. Nah maka dari itu kami
menulis makalah ini untuk mengingatkan dan memberi wawasan tentang kewajiban
kita sebagai seorang muslim untuk menegakkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” pada
masa sekarang ini.
B.
Rumusan Masalah
Sejauh mana kewajiban seorang muslim dalam menegakkan Amar Ma’ruf
Nahi Munkar?
C.
Tujuan
Agar dapat mengetahui sejauh mana kewajiban kita sebagai umat
muslim dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Syekh Nashr bin
Muhammad bin Ibrahim al-Samarqandi mengartikan Ma’ruf dengan apa yang
sesuai dengan al-Qur’an dan akal. Amar Yang berarti perintah yaitu lawan
dari nahi yang berati larangan. Ma’ruf adalah lawan dari munkar
(sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal). Secara bahasa, ma’ruf
adalah berasal dari kata ‘arafa (عرف)
yang berarti mengetahui, mengenal. Maka ma’ruf adalah sesuatu yang
dikenal, dimengerti, dipahami, diterima, dan pantas. Sebaliknya munkar adalah
sesuatu yang dibenci, ditolak dan tidak pantas[1].
dengan demikian ma’ruf dan munkar lebih mengarah pada tradisi
masyarakat. Dalam Qawaidul Fiqhiyah dikenal dengan “al-‘adah
muhakkamah” atau tradisi dapat dijadikan hukum.
Maka dalam
pengertian di atas apa yang di anggap ma’ruf bagi masyarakat belum tentu
ma’ruf bagi masyarakat lainnya. amun meskipun begitu, dalam menilai atau
mengukur panilaian utama tradisi adalah syari’ah, maka tradisi tersebut akan
menjadi tradisi yang baik “al-‘adah al-shahihah”.
Di dalam makna
keseluruhan amar ma’ruf nahi munkar adalah memerintahkan sesuatu yang ma’ruf
(sesuatu yang yang baik yang menjadi tradisi pada umumnya dengan mengukurnya
dengan syari’ah) dan mencegah yang munkar (sesuatu yang yang dibenci
menurut akal atau tradisi pada umumnya yang diukur pula dengan syari’ah).
Pengertian
tersebut diatas sesuai dengan pengertian yang berlaku pada umumnya pendapat
ulama’ dan umumnya manusia mengartikannya. Namun pengertian diatas juga berlaku
pada pengertian secara islamiyah yang diukur dengan ketentuan syar’iyah. Sehingga
hal tersebut bukan hanya menjadi bagian dari dakwah islamiyah akan tetapi juga
sudah menjadi bagian dari prinsip hidup manusia dalam bermasyarakat dan
bersosial antar sesama khusunya untuk mencapai kerukunan dalam hidup beragama.
B.
Perintah Serta Kewajiban Mengakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf
(memerintahkan kebaikan) tidak dapat dipisahkan dari nahi munkar (mencegah
kemunkaran atau perbuatan terlarang). Dalam al-Qur’an kedua istilah ini
sampai-sampai di ulang sebanyak Sembilan kali dalam lima surat yang berbeda,
yaitu surat al-A’raf ayat 157, surat Luqman ayat 17, surat Ali-Imran ayat 104,
110, dan 114, surat al-Hajj ayat 41 dan surat Taubah ayat 67, 71, 112[2].
Salah satu Perintah
mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat
ali-Imran ayat 104 yang berbunyi:
ولتكن
منكم أمّة يّدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“dan hendaklah diantara
kamu golongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs Ali-imran
104)
Berdasarkan
ayat ini jumhur ulma’ sepakat bahwa berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar
hukumnya wajib. Namun yang menjadi perdebatan hingga sampai saat ini adalah mengenai
kewajiban tersebut, yaitu dibebankan kepada siapakah hal tersebut. Apakah
dibebankan kepada setiap individu muslim (wajib A’in) ataukah hanya dibebankan
hanya kepada sekelompok orang saja dari umat islam secara keseluruhan (fardu
kifayah).
Perbedaan
mengenai wajibnya berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar tersebut bukanlan
tanpa alasan, dalam memahami dalil-dalil Naqly (al-Qur’an dan al-Hadits)
ulama’-ulama’ membandingkannya dengan keadaan atau sebuah kenyataan setiap
individu muslim yang berbeda antara muslim satu dengan muslim lainnya, baik
dalam kondisi lahiriyahnya ataupun kondisi penguasaan keilmuannya khususnya.
Muhammad Abduh
cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa berdakwah dengan amar ma’ruf nahi
munkar tersebut hukumnya wajib/fardhu A’in, hal tersebut didasarkan pada huruf
“lam” yang terdapat pada lafadz “waltakum” mengandung makna
perintah secara mutlak tanpa syarat. Sedang huruf “mim” yang terdapat
pada kalimat “minkum” mengandung makna li-Albayan yang hanya bermakna
bersifat penjelasan. Jadi hal tersebut mempunyai makna menurut Muhammad Abduh
adalah “dan hendaklah ada (yaitu) kamu sekalian sebagai umat yang menyeru
kepada kebaikan menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar,
merekalah orang-orang yang beruntung [3].
Jadi jika
didasarkan pada penafsiran atau alasan yang di singgung oleh Muhammad Abduh
terhadap ayat diatas mengandung makna bahwa setiap muslim dengan keadaan apapun
dan walaupun minimnya ilmu yang dimiliki oleh seorang muslim tersebut wajib
(A’in) hukumya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang
lain sesuai dengan kemampuannya.
Namun jika kita
telisik lebih dalam terhadap pemikiran Muhammad Abduh ini mengandung sebuah
pertanyaan besar bagi kita, yaitu ketika seorang muslim diharuskan berdakwah
sedang iya dalam keadaan yang minim ilmu apakah tidak ada keraguan bagi kita
tentang apa yang iya sampaikan. Mustafa Assiba’i memberikan sifat-sifat
pendakwah (penegak amar ma’ruf nahi munkar) salah satunya adalah
“penggerak dakwah sebaiknya memiliki kecerdasan dan kepekaan. Orang yang bodoh
dan tidak cerdik sangat sulit di jadikan pemimpin dalam bidang pemikiran,
perbaikan masyarakat, dan kerohanian. Rasulullah sejak kanak-kanaknya dikenal
sebagai anak yang cerdas sehingga membuat orang sayang kepadanya[4].
Namun ada yang
berbeda dalam memahami surat Ali Imran tersebut yaitu Al- syaukaniy yang
dikutip oleh Syamsuri Siddiq bahwa dakwah islamiyah atau menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar hukumnya adalah fardu kifayah dengan alasan bahwa huruf “mim” yang
melekat pada lafadz “minkum” bukanlah makna lilbayan melainkan li
Al-tab’id yakni mengandung makna
sebagian dari umat islam. Maka jika diartikan adalah “ maka hendaklah ada sebagian
diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh pada yang
ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”
pendapat ini
juga nampaknya punya konsekwensi tersendiri tentang pertanggung jawaban untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena jika diartikan hanya sebagian
saja maka hal yang munkin akan timbul adalah bahwa kita harus menunggu salah
seorang mukmin untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Lalu bagaimana
jika kita secara langsung melihat seseorang yang melakukan kemungkaran dan
apakah kita akan menunuggu seseorang untuk mencegah kemunkaran tersebut. Maka
bukan tidak mungkin kemunkaran tersebut akan meraja lela jika tidak segera kita
cegah.
Namun demikian pendapat
tersebut didukung oleh para mufassirin diantaranya adalah Imam Qurthubi, Imam
Suyuthi dan Zamarkhsyariy, namun al-Razi berpendapat lebih moderat dengan
mengatakan bahwa huruf “mim” pada kata “minkum” itu li
Al-bayan, yakni bersifat penjelasan.
Dengan melihat
dua pemahaman dan pendapat tentang ayat 104 surat ali-Imran tersebut nampaknya
lebih bisa dipahami sebagai kewjiban yang bersifat “A’in”, hal ini di perkuat
dengan firman allah pada surat yang sama pada ayat yang ke 110 yang bebunyi:
كنتم خير امّة
أخرجت للنّاس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو أمن أهل الكتاب
لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
“kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik
bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang fasik (Qs. Ali-Imran 110)”
Ditambah lagi
dengan sebuah hadits yang diriwayatkan imam muslim yang berbunyi:
من
رأى منكم منكرا فاليغيّره بيده فان لم يستطع فبلسانه فان لم يستطع فبقلبه وذالك
أضعف الايمان (ورأه
صحيح مسلم)
“barang siapa yang
melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila belum bisa, maka cegaklah dengan lisanmu,
apabila belum bisa cegahlah dengan hatimu, dan yang demikian adalah pertanda
selemah-lemah iman[5]”
Hadits diatas
menunjukkan bahwa betapa wajib dan pentingnya menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar hingga dalam kondisi atau keadaan yang lemah sekalipun kita masih
diperintahkan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Maka sebagai
jalan penengah Ibnu katsir menafsirkan surah ali-Imran ayat 104 yaitu “yang
dimaksud dalam ayat tersebut adalah, hendaklah ada dikalangan umat satu
golongan yang berusaha untuk urusan itu kendati berdakwah adalah kewajiban atas
setiap umat dari umat keseluruhan” ibnu katsir juga memberikan pendapatnya
terhadap surat ali-Imran ayat ke 110 yaitu “ pendapat yang benar, ayat ini umum
mencakup segenap umat (ISLAM) disetiap jaman sesuai dengan kedudukan dan kondisi mereka masing-masing. Sedang
kurun yang terbaik adalah pada masa rasulullah SAW lalu seterusnya dan
seterusnya.
Maka komentar
ibnu Katsir ini sangat sesuai dan muafaqah dengan hadits yang diatas yang
menunjukkan bahwa umat islam wajib A’in didalam menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar sesuai dengan keadaan dirinya.
C.
Alasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Harus Ditegakkan
a)
Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan jalan hidup rasul dan pengikutnya
b)
Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan karekter orang-orang yang muflihin (beruntung)
c)
Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan ciri umat yang terbaik
d)
Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan sikap hidup orang yang beriman
e)
Meninggalkan
Amar ma’ruf nahi munkar akan membawa petaka
D.
Manfaat Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1)
Dapat
mencegah orang lain dalam melakukan kemunkaran
2)
Melindungi
orang yang terdzalimi
3)
Terhindar
dari malapetaka
4)
Menjadi
pelindung masyarakat
5)
Menjadi
manusia yang akan diangkat derajatnya
6)
Mempunyai
rasa keimanan
7)
Sebagai
pembeda dari orang-orang yang fasik, dzalim dan kufur
8)
Mendapat
pahala
9)
Termasuk
bagian dari penerus para rasul
10)
Termasuk
orang yang beruntung di akhirat
Sabda
rasul SAW:
من دلّ على خير فله مثل أجر فاعله (رواه مسلم)
“barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya
pahala seperti orang yang ,melaksanakannya {Hr. Muslim)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pada rubrik pembahasan dapat disimpulkan bahwa amar ma’ruf nahi munkar
merupakan kewajiban bagi setiap muslim sekalipun dalam kondisi yang lemah. Oleh
karena itu komitmen untuk mengajak pada kebaikan dan kebajikan tidak dituntut
seseorang untuk menjadi seorang ustadz atau menjadi ulama’ terlebih dahulu.
Untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tidak perlu
menunggukesempatan-kesempatan formal, akan tetapi harus menjadi bagian dari
kehidupan yang menyatu dengan keseharian orang muslim baik di rumah, di kantor,
pasar dan dimanapun selalu terbuka lahan untuk mengakkan amar ma’rufnahi
munkar.
Banyak cara yang
dapat dilakukan oleh seorang muslim untuk menunaikan tugas dakwahnya dan tidak
harus menunggu menjadu ustadz yang pandai berceramah banyak persoalan dakwah
yang sering kali memerlukan penyelesaian justru tidak dalam suasana serba yang
serius dan ilmiyah dalam mengungkapkannya. Suasana-suasana santai justru lebih
di perlukanuntuk membawa kesegaran hati dan pikiran orang dalam menerima
kebenaran dan kebaikan. Namun bukan berarti pula mencari ilmu di abaikan.
Sabda rasul SAW:
من دلّ على خير فله مثل أجر فاعله (رواه مسلم)
“barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya
pahala seperti orang yang ,melaksanakannya {Hr. Muslim)
B.
Saran
Kami sadar bahwa usaha kami dalam menyempurnakan makalah ini
sangatlah kurang, maka dari itu kami mengharap saran dan keritik yang membangun
dari pembaca untuk menyempurnakan makalah kami ini, dan kami mohon maaf apabila
didalamnya terdapat banyak kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA
AS, sunarto. “kiyai prostitusi” (Surabaya, IDIAL_MUI, 2013)
Ali
Aziz, Moh. “ilmu dakwah” (edisi
Revisi). (jakarta:prenadamedia group
2015)
Makalah
kelompok satu “hadits dakwah” KPI A1 semester II (kamis, 19 maret 2015)
[1][1]
Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi).
(jakarta:prenadamedia group 2015) hlm.37
[2]
Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi).
(jakarta:prenadamedia group 2015) hlm.37
[3] Dr.
H. Sunarto AS., M.Ei. kiyai prostitusi
(Surabaya, IDIAL_MUI, 2013) hlm 16-17
[4] Prof,
Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi).
(jakarta:prenadamedia group 2015) hlm.
220
Tidak ada komentar:
Posting Komentar