Sabtu, 09 Mei 2015

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin. Namun seiring berkembangnya teknologi semakin menjauhkan manusia dari nilai-nilai agamistik islamiyah, Etika dan moral umat islam saat ini lebih banyak bersifat keduniawian sehinggaan mereka cenderung jauh dari Allah SWT. Etika mereka menjadi rusak. Ibadah mereka menjadi hancur, bahkan agama hanya sebagai pelengkap identitas mereka. Hubungan antar sesama manusia sudah carut-marut tidak lagi ada kesopanan, bahkan yang menonjol adalah sebuah kedzaliman.
Berangkat dari situlah kita sebagai umat islam yang tau betul bahwa islam sangat menganjurkan kita untuk memerangi hal tersebut, yang sering kita kenal dengan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” yang mana kedua hal tersebut merupakan pondasi dasar dari pada pondasi-pondasi akhlaq yang mulia. Kewajiban menegakkan kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa ditawar lagi bagi siapa saja yang mampu serta mempunyai kekuatan untuk melakukannya. Namun permasalahannya adalah umat islam pada masa sekarang sudah tidak lagi memperhatikan kedua hal tersebut. Nah maka dari itu kami menulis makalah ini untuk mengingatkan dan memberi wawasan tentang kewajiban kita sebagai seorang muslim untuk menegakkan “Amar Ma’ruf Nahi Munkar” pada masa sekarang ini.  
B.     Rumusan Masalah
Sejauh mana kewajiban seorang muslim dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar?
C.    Tujuan
Agar dapat mengetahui sejauh mana kewajiban kita sebagai umat muslim dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar serta mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Syekh Nashr bin Muhammad bin Ibrahim al-Samarqandi mengartikan Ma’ruf dengan apa yang sesuai dengan al-Qur’an dan akal. Amar Yang berarti perintah yaitu lawan dari nahi yang berati larangan. Ma’ruf adalah lawan dari munkar (sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan akal). Secara bahasa, ma’ruf adalah berasal dari kata ‘arafa (عرف) yang berarti mengetahui, mengenal. Maka ma’ruf adalah sesuatu yang dikenal, dimengerti, dipahami, diterima, dan pantas. Sebaliknya munkar adalah sesuatu yang dibenci, ditolak dan tidak pantas[1]. dengan demikian ma’ruf dan munkar lebih mengarah pada tradisi masyarakat. Dalam Qawaidul Fiqhiyah dikenal dengan “al-‘adah muhakkamah” atau tradisi dapat dijadikan hukum.
Maka dalam pengertian di atas apa yang di anggap ma’ruf bagi masyarakat belum tentu ma’ruf bagi masyarakat lainnya. amun meskipun begitu, dalam menilai atau mengukur panilaian utama tradisi adalah syari’ah, maka tradisi tersebut akan menjadi tradisi yang baik “al-‘adah al-shahihah”.
Di dalam makna keseluruhan amar ma’ruf nahi munkar adalah memerintahkan sesuatu yang ma’ruf (sesuatu yang yang baik yang menjadi tradisi pada umumnya dengan mengukurnya dengan syari’ah) dan mencegah yang munkar (sesuatu yang yang dibenci menurut akal atau tradisi pada umumnya yang diukur pula dengan syari’ah).
Pengertian tersebut diatas sesuai dengan pengertian yang berlaku pada umumnya pendapat ulama’ dan umumnya manusia mengartikannya. Namun pengertian diatas juga berlaku pada pengertian secara islamiyah yang diukur dengan ketentuan syar’iyah. Sehingga hal tersebut bukan hanya menjadi bagian dari dakwah islamiyah akan tetapi juga sudah menjadi bagian dari prinsip hidup manusia dalam bermasyarakat dan bersosial antar sesama khusunya untuk mencapai kerukunan dalam hidup beragama.
B.   Perintah Serta Kewajiban Mengakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf (memerintahkan kebaikan) tidak dapat dipisahkan dari nahi munkar (mencegah kemunkaran atau perbuatan terlarang). Dalam al-Qur’an kedua istilah ini sampai-sampai di ulang sebanyak Sembilan kali dalam lima surat yang berbeda, yaitu surat al-A’raf ayat 157, surat Luqman ayat 17, surat Ali-Imran ayat 104, 110, dan 114, surat al-Hajj ayat 41 dan surat Taubah ayat 67, 71, 112[2].
Salah satu Perintah mengenai Amar Ma’ruf Nahi Munkar telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat ali-Imran ayat 104 yang berbunyi:
ولتكن منكم أمّة يّدعون الى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون
“dan hendaklah diantara kamu golongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung” (Qs Ali-imran 104)
Berdasarkan ayat ini jumhur ulma’ sepakat bahwa berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya wajib. Namun yang menjadi perdebatan hingga sampai saat ini adalah mengenai kewajiban tersebut, yaitu dibebankan kepada siapakah hal tersebut. Apakah dibebankan kepada setiap individu muslim (wajib A’in) ataukah hanya dibebankan hanya kepada sekelompok orang saja dari umat islam secara keseluruhan (fardu kifayah).
Perbedaan mengenai wajibnya berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar tersebut bukanlan tanpa alasan, dalam memahami dalil-dalil Naqly (al-Qur’an dan al-Hadits) ulama’-ulama’ membandingkannya dengan keadaan atau sebuah kenyataan setiap individu muslim yang berbeda antara muslim satu dengan muslim lainnya, baik dalam kondisi lahiriyahnya ataupun kondisi penguasaan keilmuannya khususnya.
Muhammad Abduh cenderung pada pendapat yang menyatakan bahwa berdakwah dengan amar ma’ruf nahi munkar tersebut hukumnya wajib/fardhu A’in, hal tersebut didasarkan pada huruf “lam” yang terdapat pada lafadz “waltakum” mengandung makna perintah secara mutlak tanpa syarat. Sedang huruf “mim” yang terdapat pada kalimat “minkum” mengandung makna li-Albayan yang hanya bermakna bersifat penjelasan. Jadi hal tersebut mempunyai makna menurut Muhammad Abduh adalah “dan hendaklah ada (yaitu) kamu sekalian sebagai umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung [3].
Jadi jika didasarkan pada penafsiran atau alasan yang di singgung oleh Muhammad Abduh terhadap ayat diatas mengandung makna bahwa setiap muslim dengan keadaan apapun dan walaupun minimnya ilmu yang dimiliki oleh seorang muslim tersebut wajib (A’in) hukumya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada orang lain sesuai dengan kemampuannya.
Namun jika kita telisik lebih dalam terhadap pemikiran Muhammad Abduh ini mengandung sebuah pertanyaan besar bagi kita, yaitu ketika seorang muslim diharuskan berdakwah sedang iya dalam keadaan yang minim ilmu apakah tidak ada keraguan bagi kita tentang apa yang iya sampaikan. Mustafa Assiba’i memberikan sifat-sifat pendakwah (penegak amar ma’ruf nahi munkar) salah satunya adalah “penggerak dakwah sebaiknya memiliki kecerdasan dan kepekaan. Orang yang bodoh dan tidak cerdik sangat sulit di jadikan pemimpin dalam bidang pemikiran, perbaikan masyarakat, dan kerohanian. Rasulullah sejak kanak-kanaknya dikenal sebagai anak yang cerdas sehingga membuat orang sayang kepadanya[4].
Namun ada yang berbeda dalam memahami surat Ali Imran tersebut yaitu Al- syaukaniy yang dikutip oleh Syamsuri Siddiq bahwa dakwah islamiyah atau menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardu kifayah dengan alasan bahwa huruf “mim” yang melekat pada lafadz “minkum” bukanlah makna lilbayan melainkan li Al-tab’id  yakni mengandung makna sebagian dari umat islam. Maka jika diartikan adalah “ maka hendaklah ada sebagian diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan menyuruh pada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”
pendapat ini juga nampaknya punya konsekwensi tersendiri tentang pertanggung jawaban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, karena jika diartikan hanya sebagian saja maka hal yang munkin akan timbul adalah bahwa kita harus menunggu salah seorang mukmin untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Lalu bagaimana jika kita secara langsung melihat seseorang yang melakukan kemungkaran dan apakah kita akan menunuggu seseorang untuk mencegah kemunkaran tersebut. Maka bukan tidak mungkin kemunkaran tersebut akan meraja lela jika tidak segera kita cegah.
Namun demikian pendapat tersebut didukung oleh para mufassirin diantaranya adalah Imam Qurthubi, Imam Suyuthi dan Zamarkhsyariy, namun al-Razi berpendapat lebih moderat dengan mengatakan bahwa huruf “mim” pada kata “minkum” itu li Al-bayan, yakni bersifat penjelasan.
Dengan melihat dua pemahaman dan pendapat tentang ayat 104 surat ali-Imran tersebut nampaknya lebih bisa dipahami sebagai kewjiban yang bersifat “A’in”, hal ini di perkuat dengan firman allah pada surat yang sama pada ayat yang ke 110 yang bebunyi:
كنتم خير امّة أخرجت للنّاس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله ولو أمن أهل الكتاب لكان خيرا لهم منهم المؤمنون وأكثرهم الفاسقون
“kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk  manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada allah, sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Qs. Ali-Imran 110)”
Ditambah lagi dengan sebuah hadits yang diriwayatkan imam muslim yang berbunyi:
من رأى منكم منكرا فاليغيّره بيده فان لم يستطع فبلسانه فان لم يستطع فبقلبه وذالك أضعف الايمان (ورأه صحيح مسلم)
“barang siapa yang melihat kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, apabila  belum bisa, maka cegaklah dengan lisanmu, apabila belum bisa cegahlah dengan hatimu, dan yang demikian adalah pertanda selemah-lemah iman[5]
Hadits diatas menunjukkan bahwa betapa wajib dan pentingnya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga dalam kondisi atau keadaan yang lemah sekalipun kita masih diperintahkan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Maka sebagai jalan penengah Ibnu katsir menafsirkan surah ali-Imran ayat 104 yaitu “yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah, hendaklah ada dikalangan umat satu golongan yang berusaha untuk urusan itu kendati berdakwah adalah kewajiban atas setiap umat dari umat keseluruhan” ibnu katsir juga memberikan pendapatnya terhadap surat ali-Imran ayat ke 110 yaitu “ pendapat yang benar, ayat ini umum mencakup segenap umat (ISLAM) disetiap jaman sesuai dengan kedudukan  dan kondisi mereka masing-masing. Sedang kurun yang terbaik adalah pada masa rasulullah SAW lalu seterusnya dan seterusnya.
Maka komentar ibnu Katsir ini sangat sesuai dan muafaqah dengan hadits yang diatas yang menunjukkan bahwa umat islam wajib A’in didalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan keadaan dirinya.
C.   Alasan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Harus Ditegakkan
a)      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan jalan hidup rasul dan pengikutnya
b)      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan karekter orang-orang yang muflihin (beruntung)
c)      Amar ma’ruf nahi munkar merupakan ciri umat yang terbaik
d)     Amar ma’ruf nahi munkar merupakan sikap hidup orang yang beriman
e)      Meninggalkan Amar ma’ruf nahi munkar akan membawa petaka

D.   Manfaat Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
1)   Dapat mencegah orang lain dalam melakukan kemunkaran
2)   Melindungi orang yang terdzalimi
3)   Terhindar dari malapetaka
4)   Menjadi pelindung masyarakat
5)   Menjadi manusia yang akan diangkat derajatnya
6)   Mempunyai rasa keimanan
7)   Sebagai pembeda dari orang-orang yang fasik, dzalim dan kufur
8)   Mendapat pahala
9)   Termasuk bagian dari penerus para rasul
10)    Termasuk orang yang beruntung  di akhirat
Sabda rasul SAW:
من دلّ على خير فله مثل أجر فاعله (رواه مسلم)

“barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang ,melaksanakannya {Hr. Muslim)










BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
          Berdasarkan pada rubrik pembahasan dapat disimpulkan  bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim sekalipun dalam kondisi yang lemah. Oleh karena itu komitmen untuk mengajak pada kebaikan dan kebajikan tidak dituntut seseorang untuk menjadi seorang ustadz atau menjadi ulama’ terlebih dahulu. Untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar tidak perlu menunggukesempatan-kesempatan formal, akan tetapi harus menjadi bagian dari kehidupan yang menyatu dengan keseharian orang muslim baik di rumah, di kantor, pasar dan dimanapun selalu terbuka lahan untuk mengakkan amar ma’rufnahi munkar.
            Banyak cara yang dapat dilakukan oleh seorang muslim untuk menunaikan tugas dakwahnya dan tidak harus menunggu menjadu ustadz yang pandai berceramah banyak persoalan dakwah yang sering kali memerlukan penyelesaian justru tidak dalam suasana serba yang serius dan ilmiyah dalam mengungkapkannya. Suasana-suasana santai justru lebih di perlukanuntuk membawa kesegaran hati dan pikiran orang dalam menerima kebenaran dan kebaikan. Namun bukan berarti pula mencari ilmu di abaikan.
     Sabda rasul SAW:
من دلّ على خير فله مثل أجر فاعله (رواه مسلم)
“barang siapa yang menunjukkan kepada suatu kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang ,melaksanakannya {Hr. Muslim)
B.   Saran
Kami sadar bahwa usaha kami dalam menyempurnakan makalah ini sangatlah kurang, maka dari itu kami mengharap saran dan keritik yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan makalah kami ini, dan kami mohon maaf apabila didalamnya terdapat banyak kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.



DAFTAR PUSTAKA
AS, sunarto. “kiyai prostitusi”  (Surabaya, IDIAL_MUI, 2013)

Ali Aziz,  Moh. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015)
Makalah kelompok satu “hadits dakwah” KPI A1 semester II (kamis, 19 maret 2015)



[1][1] Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015) hlm.37
[2] Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015) hlm.37
[3] Dr. H. Sunarto AS., M.Ei. kiyai prostitusi  (Surabaya, IDIAL_MUI, 2013) hlm 16-17
[4] Prof, Dr. Moh. Ali Aziz, M.Ag. “ilmu dakwah” (edisi Revisi). (jakarta:prenadamedia group  2015) hlm. 220
[5][5] Makalah kelompok satu “hadits dakwah” (kamis, 19 maret 2015) KPI A1 semester II. Hlm, 3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar